Asep mengunci kamar. Ia selesai bersih-bersih kamar tidur. Ruangannya kini terasa lega. Ia menyiapkan kursi dan memasang tali di langit-langit kamar. Ia sudah siap. Siap untuk mengakhiri hidupnya.
Bismika Allahumma Ahya Wa Bismika Amut, lirihnya sambil meneteskan air mata. Kini ia berdiri di kursi sambil kedua tangannya memegang tali yang disiapkan untuk kepalanya.
Brak!
Asep meloncat rendah. Kursi itu terjatuh. Badan Asep tergantung.
Ia melamun. “Kenapa aku di sini?” Matanya melirik ke sana kemari bak maling yang sedang beroprasi.
“Hei,” panggil temannya sambil menepuk punggung Asep, “di sini kau rupanya.”
Asep terkejut seraya menoleh ke belakang kirinya.
“Ayo, teman-teman yang lain menunggu.”
Asep menjawab tanpa kata.
Setengah menit kemudian, mereka sampai. “Terimakasih sudah menunggu.” Kata Asep.
Semua temannya terdiam, termasuk orang yang membuat dirinya terkejut.
“Kamu kenapa?” Tanya salah satu temannya. Yang lain, hanya mengangguk tanda sepakat dengan pertanyaan tersebut.
Aku kenapa, Asep terbawa bingung. Ia mematung.
“Ya sudah, kita lanjutkan saja.” Kata Cecep, pemimpin perkumpulan. “Kita akan meminjam uang kepada kelompok lain untuk modal awal usaha kita. Jaminannya akan kukasih sertifikat rumahku.”
Semua orang yang hadir hanya mengangguk-ngangguk saja. Langkah yang menarik, lirih salah satu dari mereka sambil mengusap-ngusap dagunya. Asep tetap terdiam. Tatapannya kosong. Sepertinya aku pernah di situasi ini, batin Asep.
Cecep mengerti situasi forum seperti ini. Ada dua kemungkinan, pertama mereka belum mengerti dan sok mengerti; kedua mereka setuju-setuju saja dengan pikiran bodo amat. “Gimana, ada pertanyaan?”
“Apa yang akan kita jual?”
Semua orang melirik pada Asep. Ada apa, jawab Asep tanpa kata.
“Kau lupa?” Timpal Cecep sambil menarik satu sudut bibirnya. “Kita akan jual narkoba dengan jumlah besar.”
“Kau tau orang-orang ini?” lanjutnya.
Asep menjawab tanpa kata.
“Astaga! Kau ini bagaimana. Kita semua, yang ada di sini, adalah teman.” Cecep tertawa sangat renyah.
“Sepertinya dia kebanyakan, Bos.” Bisik orang di sebelah Cecep.
Ya, aku tahu, jawab Cecep hanya mengangguk.
“Baik, teman-teman, kita akhiri saja pertemuan kita kali ini. Karena teman kita satu ini (Asep) sepertinya sedang tidak baik-baik saja”
Perkumpulan itu pun selesai. Orang-orang yang hadir langsung pergi begitu saja tanpa ada basa-basi sedikit pun. Mereka bubar seperti burung yang keluar dari sangkarnya: gesit. Asep tinggal terlebih dahulu di ruangan tersebut. Ia menghampiri Cecep. “Lebih baik kau hentikan bisnis ini dari sekarang.”
“Ada apa dengan mu, Sep?”
“Aku tahu ini akan berakhir seperti apa.”
Cecep tertawa renyah. “Delusi kamu, Sep.”
“Konsumsi apa kau sebenarnya?” lanjutnya.
“Aku tak mengosumsi apapun. Sungguh”
“Masih ada?”
“Sudah kubilang, aku tak mengonsumsi apapun.”
Cecep terdiam tak percaya. Asep terdiam bingung harus bagaimana.
“Akhiri bisnis ini dari sekarang.”
“Ada masalah apa kau ini?”
“Aku melihat kalian semua mati.”
Cecep diam mengamati.
“Aku yang terakhir dari kalian. Aku jadi buronan terakhir, dan aku memilih bunuh diri.”
Cecep menertawakan kekhawatiran Asep. Lalu sesaat kemudian, “Lebih baik kau istirahat, Sep.” Sambil pergi meninggalkan Asep.
Asep tak melakukan pencegahan perginya Cecep. Ia diam terlebih dahulu. Lalu, menguntitnya dari jauh. Ia ingat, orang pertama yang akan mati adalah Cecep. Dan ketika Cecep mati, semua teman yang terkendali oleh kuasa Cecep akan menimbulkan gesekan perang. Ia tak ingin hal tersebut menjadi kenyataan kedua kalinya.
Langkah Asep mengikuti langkah Cecep. Namun, setiap Cecep masuk ke dalam gang, Asep akan mempercepat langkahnya agar tak kehilangan sosok Cecep. Begitu seterusnya. Hingga akhirnya Asep menemukan penyebab awal Cecep terbunuh. Ia melihat Cecep melakukan komunikasi dengan orang asing yang terlihat seperti warga Spanyol.
Sebenarnya Cecep adalah orang yang tumbuh tanpa bangku pendidikan sekali pun, namun ia memiliki kemampuan berbahasa seperti orang-orang yang merasakan bangku pendidikan. Ia poligot yang lahir dari film. Ia pun memiliki kepekaan yang tajam; Ia bisa mengecoh mata-mata negara; dan memiliki kemampuan kamuflase yang sangat luar biasa. Itu semua ia pelajari dengan cara menonton film.
Jauh sebelum Cecep menjadi orang yang berpengaruh dan dijadikan pemimpin gerakan oleh kawan-kawannya, ia hanya seorang kurir narkoba. Namun, proses pembelian tersebut sangatlah berbeda dari biasanya. Kalau biasanya transaksi dilakukan di tempat yang sepi dan sunyi, ia melakukannya dengan berkebalikan. Ia lakukan transaksi di tempat yang ramai dan juga kacau. Ia lakukan hal seperti itu sama niatnya dengan yang melakukan transaksi di tempat sepi dan sunyi: Menghindari penangkapan. Apabila kurir yang melakukan transaksi itu tertangkap, sang bandar tak akan lagi mempekerjakannya. Maka, Cecep mengamankan posisi pekerjaannya sebagai kurir narkoba tak ingin seperti yang dilakukan oleh kurir-kurir lain. Karena ia piker, ketika ia melakukan hal yang sama, mata-mata negara sudah pasti mengetahui kegiatan tersebut. Dan persentase tertangkap pun menjadi sangat besar. Lalu seperti apa yang dilakukan oleh Cecep? Ia melakukannya dengan cara kamuflase sebagai pedagang keliling. Lalu ia mempropaganda kedua kampung terlebih dahulu. Ia buat kedua kampung ini menjadi saling benci dengan waktu yang sangat singkat. Ia sering membuat narasi, “hati-hati, nanti malam, kampung sebelah akan menyerang kalian. Mereka bilang kalian tidak cocok untuk hidup di dekat mereka.” Narasi tersebut diberi kepada kedua kampung yang menjadi titik keseepakatan untuk melakukan transaksi narkoba. Hal tersebut Cecep lakukan dengan sangat lincah seperti film-film yang sudah ditonton olehnya. Ketika propaganda yang dilakukannya tercipta, ia akan melakukan transaksi dengan tenang tanpa sedikit pun rasa takut tertangkap basah. Karena, ketika propaganda berhasil, polisi akan focus memisahkan kedua kampung tersebut. Dan media pun akan keasikan meliput hal tersebut. Jadi, Cecep tenang melakukan transaksi narkobanya.
Itu cerita lama, berbeda dengan kondisi Cecep saat ini. Asep sangat mengenalnya. Asep menilai Cecep sudah tak bisa lagi seperti dulu. Perubahan itu terasa oleh Asep ketika Cecep sudah menjadi sang pemimpin. Cecep tak melakukan kegiatannya seperti sejak menjadi kurir dulu. Ia tumbuh menjadi makhluk yang ambisi dengan kekayaan. Ia tak lagi melatih kepekaannya terhadap situasi seperti dulu. Dan juga, mempermainkan mata-mata negara sudah tidak lagi ia lakukan. Bahkan, kemampuan kamuflasenya ia tinggalkan.
Dan saat ini, Cecep tak sadar dirinya sendiri. Ia masih merasa seperti dulu yang sangat lincah di segala situasi. Asep berusaha mengamankan nyama Cecep. Ia khawatir Cecep akan mati terbunuh oleh racun yang dimasukan oleh orang Spanyol itu, seperti yang sudah dialami oleh Asep.
Asep terkejut. Ternyata Cecep menyadari keberadaan Asep. Ia melambai ke arah Asep. Aduh, harus bagaimana aku, pikir Asep.
“Sini!” Teriak Cecep.
Asep terpaksa melangkah menghampirinya.
“Ini adalah kawanku yang tadi kuceritakan.” Katanya kepada orang Spanyol.
Cecep dan orang Spanyol tertawa. Asep diam tak mengerti.
“Harus kah kubunuh dia?” Tanya orang Spanyol.
“Tak usah. Biarkan saja.”
“Orang lain tak akan percaya pada perkataannya. Ia akan dianggap delusi atau mungkin gila.” Lanjut Cecep. “Rencana ini harus berhasil seperti sebelumnya. Aku sudah bosan terus kembali ke situasi ini karena dirinya.”
“Kalian ini ngobrolin apa?” bingung Asep.
“Hanya cerita-cerita bisnis saja.” Tenang Cecep kepada Asep.
Mari masuk, suruh orang Spanyol tanpa kata.
Anggur disuguhkan kepada Asep dan Cecep oleh orang Spanyol.
Cecep meminum suguhan itu duluan, kemudian disusul oleh orang Spanyol dan diikuti oleh Asep. Mereka saling membisu. Menikmati anggur dengan pikirannya masing-masing.
Suasana mendadak canggung.
“Kita akan melakukan bisnis besar.” Kata Cecep beberapa saat kemudian. “Narkoba yang kita kelola akan berjumlah besar, dengan targetan pembeli pelajar.”
Asep merasa kepalanya menjadi berat.
“Kemudian, aku akan mati akibat racun yang diberi oleh orang Spanyol ini. Setelah aku mati, teman-teman kita akan terpecah menjadi dua karena memperebutkan narkoba dariku.”
Asep merasa kepalanya semakin berat.
“Dan setelah perpecahan itu muncul, kau akan diminta oleh teman-teman kita untuk menjadi pemimpin mereka. Namun kau menolak. Dan akhirnya kau diteror oleh mereka.”
Asep merasa kesadarannya akan hilang sebentar lagi. Kenapa aku mabuk berat hanya karena satu gelas anggur saja, pikirnya dalam hati.
“Karena kau tertekan, akhirnya kau memilih untuk mati gantung diri.”
Apa yang dia ucapkan dari tadi, bingung Asep.
Cecep dan orang Spanyol itu memperhatikan Asep.
“Kau masukan berapa obat kedalam gelasnya?”
“Entahlah. Mungkin lima belas, mungkin lebih.”
“Bagus.”
“Sebentar lagi dia akan pulang dan lupa kejadian ini.” Lanjut Cecep.
“Kalau kita kembali …”
Ditengah obrolan antara Cecep dengan orang Spanyol, Asep berdiri dari tempat duduknya lalu membungkukan badan dengan maksud berpamitan. Orang Spanyol itu mempersilakannya dengan cara menunjuk pintu arah keluar. Lalu, Asep keluar ke arah yang ditunjuk oleh orang Spanyol itu.
“… karena ia hidup kembali, bagaimana?”
“Kali ini kita bunuh saja. Tanpa ada orang lain yang tau selain kita berdua. Aku sudah bosan terus kembali seperti ini. Kebanyakan orang pasti tidak sadar kehidupannya terulang kembali. Tidak seperti kita.”
“Baiklah kalua seperti itu. Kita lihat sebentar lagi.”
___
Asep mengunci kamar. Ia selesai bersih-bersih kamar tidur. Ruangannya kini terasa lega. Ia menyiapkan kursi dan memasang tali di langit-langit kamar. Ia sudah siap. Siap untuk mengakhiri hidupnya.
Bismika Allahumma Ahya Wa Bismika Amut, lirihnya sambil meneteskan air mata. Kini ia berdiri di kursi sambil kedua tangannya memegang tali yang disiapkan untuk kepalanya.
Brak!
Asep meloncat rendah. Kursi itu terjatuh. Badan Asep tergantung.
Ia melamun. “Kenapa aku di sini?” Matanya melirik ke sana kemari bak maling yang sedang beroprasi.
“Hei,” panggil temannya sambil menepuk punggung Asep, “di sini kau rupanya.”
Asep terkejut seraya menoleh ke belakang kirinya.
Ia membeku. Moncong senjata tepat berada di depan mukanya.
Dhar!
Peluru mendarat tepat di tengah dahi Asep.