Pada akhir tahun 2023, belum lama ini, pimpinan Ponpes Miftahul Huda di Purwakarta diamuk massa. Pasalnya warga marah karena pimpinan ponpes tersebut diduga mencabuli 15 santriwati yang masih di bawah umur. Parahnya aksi sang ustaz sudah dilakukan sejak bertahun-tahun, tepatnya ketika para santri duduk di bangku kelas 4 SD hingga sekarang kelas 2 MTs.
Ini hanya satu kasus kekerasan seksual di Pesantren yang terungkap, dari sekian banyak kasus yang sama setiap tahunnya. Tak bisa kita bayangkan berapa jumlah sebenarnya, dan berapa yang benar-benar diusut tuntas secara hukum.
Dari kasus-kasus yang menambah cela dunia pendidikan Islam, khususnya pesantren, anehnya masih sering kita lihat pesantren yang menutup-nutupi kasus semacam ini dengan berbagai alasan. Misalnya, kasihan santrinya, nama baik pesantren, sampai menjaga martabat keluarga. Ini hanya menambah kesan bahwa institusi agama tak serius menanggapi masalah seperti ini. Rasanya tidak berlebihan jika menyebut masalah ini sebagai jenis kelatenan lain. Seperti budaya ghosob sandal di asrama.
Ada beberapa hal yang bisa kita tandai dari peristiwa ini. Meski kasus begini terus berulang, masyarakat seringkali abai betapa pentingnya mempercayai pesantren atau lembaga pendidikan yang membicarakan ruang aman sebagai agenda pendidikan mereka. Alih-alih begitu, masyarakat kita lebih suka bertindak reaktif, seperti mengamuk di atas.
Kemudian, badan-badan organisasi (entah yang dibentuk oleh negara atau pun sipil) yang menaungi pesantren seringkali abai mengatasi maupun mencegah problem ini. Dan yang terparah, tafsiran agama (dalam hal ini Alquran) yang seperti apa sih yang diajarkan oleh pesantren-pesantren kita? Kok gini-gini amat.
Namun kondisi ini tidaklah berdiri sendiri, melainkan buntut dari kebijakan struktural kita. Ambillah contoh, UU Pesantren yang sama sekali tidak memasukkan agenda Ruang Aman, padahal kasus seperti ini sudah bukan barang baru. Apalagi, kenyataan RUU P-Ks gagal disahkan, menambah panjang jalan keluar masalah ini.
Solusi rasa-rasanya tidak bisa diharapkan datang dari ruang-ruang yang penuh orang ngantukan–tempat kebijakan struktural dirumuskan. Dan yang tak kalah penting stigma, bahwa islam tidak mengakomodir percakapan-percakapan yang adil gender.
Di Indonesia mungkin perempuan tidak dilarang-larang seperti di Afganistan dan Saudi Arabia, tapi dari rentetan kasus yang disebut di awal tulisan ini, kita tak bisa bilang keadaan kita baik-baik saja. Terutama bagaimana umat Islam Indonesia melihat isu-isu gender, seakan-akan keduanya adalah topik yang berseberangan, padahal sebenarnya tidak.
Buktinya adalah keberadan produk-produk tafsir yang pro keadilan gender seperti yang mulai populer dibicarakan di ranah akademis maupun komunitas pembela isu-isu gender, yakni Qiraah Mubadalah. Dan agaknya inilah alternatifnya.
Meski relatif baru–dan ini menunjukkan perkembangan baik dalam ranah kajian ilmu tafsir–tentu saja ini bisa jadi angin segar bagi sengkarut masalah tadi. Bukankah akan lebih baik jika lingkungan yang sadar ruang aman, dimulai dengan paradigma penafsiran agama yang lebih ramah gender?
Dalam bukunya, Faqihuddin Abdul Kodir menjelaskan bahwa secara metodis, Qiraah Mubadalah memberikan peluang untuk melakukan pengembangan pemahaman dan praktik terhadap teks agar memiliki nilai kesalingan hubungan. Qiraah Mubadalah menawarkan penempatan laki-laki dan perempuan pada posisi yang sama dalam konteks penafsiran Alquran atau hadis.
Paradigma menafsirkan nash keagamaan yang seperti ini penting diadopsi di pesantren, minimal untuk menumbuhkan awareness, dan maksimal mendorong usaha yang serius untuk menegakkan qanun atau aturan pesantren yang bisa menciptakan ruang aman di pesantren. Sebab pengalaman saya nyantri 10 tahun dengan qanun pesantren ini bikin sedih. Bagaimana mungkin aturan-aturan pesantren seperti mencuri dan merokok ada, tapi untuk kekerasan seksual malah tak disebutkan?
Dan agar pesantren mau menerimanya ia mesti dikampanyekan dengan banyak cara, kajian, kerja sama pendidikan dengan komunitas, maupun anjuran langsung dari organisasi sipil yang menaungi pesantren tersebut.
Khatimah
Kita mungkin sering dengar ini. Di saat-saat yang paling sulit, selalu ada saja angin-angin yang menyegarkan. Belum lama ini, kita lihat bahwa kesadaran santri-santri muda pada pentingnya ruang aman di pesantren semakin membaik.
Keberadaan Front Santri Melawan Kekerasan Seksual (Formujers); Kongres Ulama Prempuan (KUPI), dan popularitas Qiraah Mubadalah di komunitas-komunitas akademis sampai ke komunitas pembela keadilan gender di banyak kota, bisa menjadi tanda utama bahwa perkembangan Tafsir di Indonesia berjalan ke arah yang baik. Pendeknya Alquran, melalui perkembangan cara menafsirnya terus menempatkan dirinya sebagai solusi masalah umat di segala masa, di segala tempat. Sholihun likulli zaman, wa makaan.
Sebagai penutup, saya akan meminjam puisi dari penyair masyhur kita, Ch. Anwar. Kerja belum selesai, belum apa-apa. Artinya semangat ini mesti terus dijaga dan diwariskan.