pp-sbl (2)

Magrib tadi, aku berbincang dengan ayah. Ia bilang padaku bahwa mencari uang adalah prihal gampang.

“Tak peduli di mana kau berpendidikan, dan fakultas apa yang kaupilih, yang penting kau berusaha.” Katanya sangat santai. “Sekarang kau mahasiswa akuntansi, Apa iya setelah lulus nanti kau akan menjadi seorang akuntan?”

Aku menjawab tak sepatah kata.

“Kau itu lelaki, nak.” Katanya dengan suara santai. “Kau harus punya keinginan untuk terus tumbuh. Kau harus bisa berfikir lebih luas agar kau tak tergerus oleh zaman. Kau harus punya uang agar bisa menyambung hidup. Menurutmu, bagaimana caranya mendapatkan uang?”

“Bekerja.” Jawabku takut salah.

“Ya, itu betul. Tapi apa kau akan terus menerus bekerja?”

Aku menjawab tanpa kata.

“Apa kau ingin memperkaya orang yang sudah memiliki banyak harta?”

“Maksudnya?” tanyaku kebingungan.

“Ketika kau bekerja, dan mendapatkan uang setelahnya, apa pemilik perusahaan mendapatkan bagian dari hasil ngeringatmu?”

Aku menjawab tak sepatah kata.

“Mereka, pemilik perusahaan, akan terus mendapatkan untung meski mereka hanya diam.”

“Mereka tak pernah diam. Mereka juga bekerja agar perusahaannya terus berkembang.” Timpalku.

“Mereka tak pernah bekerja. Pekerjaan mereka hanya menikmati hasil jeri payah pekerja.” Nadanya mulai meninggi. “Agar perusahaan mereka berkembang, mereka akan mempekerjakan banyak orang. Mulai dari asisten, menejer, akuntan, dan staf-staf lainnya.”

“Lalu aku harus bagaimana?”

“Menurutmu, kau termasuk orang pintar atau orang yang bodoh?”

“Pada hakikatnya semua manusia itu bodoh.”

“Jawab saja, kau termasuk orang yang mana.”

“Orang yang bodoh.”

“Oke,” katanya setelah mengangguk-ngangguk. “Sekarang jawab pertanyaan ini,” lanjutnya setelah berdeham. “Menurutmu, bisnis apa yang tak akan pernah tergerus oleh zaman? Sebutkan tiga!”

“Pertanyaan mudah.” Jawabku sambil menyeringai. “Pertama, sudah barang tentu material. Bisnis ini tak akan pernah padam, karena manusia kian hari kian suka membangun rumah sesuai keinginannya sendiri tanpa peduli lahan tanah kian hari kian menghilang. Kedua, bisnis gas. Gas akan terus ada yang menjual, karena gas dipakai untuk kebutuhan dapur. Dan yang terakhir adalah bisnis kebutuhan primer manusia, ini bisnis yang tak akan pernah padam oleh zaman.”

Setelah mendengar jawabanku, ayah balas menyeringai.

Menurutnya, jawabanku memang menunjukan serta mempertegas bahwa aku ini memang orang yang bodoh. Bisnis material, katanya, akan tergerus oleh zaman, karena lambat laun manusia akan sadar bahwa tanah di bumi ini mulai terpenuhi oleh bangunan-bangunan. Maka, bisnis material akan tergerus. Kemudian, katanya, menjalankan bisnis gas pun tak akan pernah abadi. Bisnis gas itu akan tergerus oleh zaman. Kian hari teknologi semakin berkembang, dan gas akan mulai ditinggalkan oleh manusia, karena gas akan terganti oleh listrik, atau semacamnya, yang dianggap lebih ramah lingkungan. Dan yang terakhir kamu sebutkan, katanya, adalah bisnis yang sangat melelahkan. Produk makanan dan minuman memanglah memiliki petensi untuk tidak tergerus oleh zaman. Namun, mau tidak mau, bisnis ini harus terus melakukan pembaharuan seperti keadaan zamannya. Apabila tidak melakukan pembaharuan, maka nasibnya sama saja: hilang tergerus zaman. Tak percaya? Coba ingat-ingat kembali olehmu berapa banyak makanan dan minuman sewaktu kamu masih kecil yang sekarang sudah hilang tergerus oleh zaman.

Aku menjawab dengan menutup mulut rapat-rapat.

“Kalau orang pintar, nak, tak akan menjawab seperti itu.” Katanya setelah kami diam cukup lama. “Orang pintar akan menjawab dengan cukup sederhana.”

Seperti apa, tanyaku menggerakkan kepala sedikit ke atas.

“Orang pintar akan memilih melakukan bisnis yang tak membuatnya lelah mencari uang. Pertama, orang pintar akan membuka panggung hiburan. Dari panggung hiburan itu, orang pintar hanya perlu melakukan pendaftaran dengan pembayaran yang terpampang di selembaran. Kemudian, tetapkan harga tiket untuk penonton. Agar banyak orang yang daftar, di selembaran itu harus terpampang sangat jelas total hadiah untuk sang pemenang.”

Aku mengangguk cepat.

“Kedua, orang pintar akan melakukan seni retoriknya untuk menipu orang malas dan orang tak malas. Maksudnya, orang pintar ini akan mencari orang yang tidak suka bermalas-malasan atau senang akan kegiatan untuk melakukan hal yang diinginkan oleh si orang malas. Orang pintar ini akan bertanya pada si malas, hal apa yang bisa orang pintar ini lakukan, contoh: mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Contoh ini sering ayah temukan sewaktu ayah kuliah. Lalu setelah orang pintar ini tahu apa yang diinginkan oleh si malas, ia harus bagaimana?”

Aku mematung.

“Orang pintar ini akan menjawab, ‘Berikan saja padaku tugas-tugasmu itu. Akan kukerjakan. Kau hanya perlu pengeluarkan sedikit uang.’ Lalu setelah orang malas ini meng-iya-kan, orang pintar akan menghubungi si tidak malas untuk melakukan hal tersebut dengan balasan upah dari orang pintar ini. Berapa uang yang harus dikeluarkan oleh si malas dan berapa upah yang didapat oleh si tidak malas? Tuhan pun tak tahu. Hanya si pintar yang tahu.”

Kini anggukanku kembali dan lebih cepat.

“Lalu bisnis apa yang ketiga?”

Aku kembali mematung.

“Pendidikan.”

Aku semakin mematung.

“Sekolah.” Tegasnya.

Aku kembali mengangguk, namun kini amat pelan.

“Kau tahu kenapa yang terakhir adalah bisnis sekolah?”

Anggukanku kembali hilang.

“Orang pintar selalu menyadari bahwa pendidikan, atau sekolah, dari dulu sampai sekarang selalu ada. Di mana pun itu. Sekolah tak pernah kalah oleh zaman. Tak pernah tergerus. Maka, apabila kau ingin selalu memiliki harta tanpa takut tergerus oleh zaman, bukalah sekolah.”

Setelah ia selesai berbicara, dan aku mengangguk-ngangguk kecil, kami berlomba-lomba diam menahan kata. Cukup lama. Tak ada suara yang keluar di antara kami setelah dia selesai bicara.

Sial, batinku.

Sial, raut wajah ayahku.

“Ternyata kita korban orang pintar.” Perkataan yang ingin ia ungkapkan, kucuri duluan.

Setelah kuberucap seperti itu, kami kembali berlomba untuk diam. Kali ini diam dengan gaya, menundukan pandangan sambil memegang jidat, sesekali mengusap kepala.

Dan malam ini, setelah magrib tadi, dan tentu setelah percakapan tadi, aku dan ayahku sepakat untuk memberhentikanku agar tidak terus menerus memperkaya orang yang sudah memiliki banyak harta.

Share the Post:

Related Posts

Mungkinkah

Mungkinkah Hujan baru saja usai tumpahkan cintanyaJadikan senjaku semakin mempesonaLukisan tujuh warna di lengkung cakrawala menambah indahnya suasanaMomen ini selalu

Read More

Pecandu Rasa

Pecandu Rasa Rinduku menggebu pada garis waktuYang menghantarkan wajahmu pada peraduankuSedangkan rindumu terseok pada persimpangan jalan berlikuMengalah pada jarak yang

Read More