Pernikahan Kita: Teka-teki Luka Batin dan Pola Asuh

download__8_-removebg-preview

Motif Pernikahan

Beberapa waktu yang lalu saya menonton sebuah acara di televisi. Ya, sebut saja acara Curhat bersama Mamah. Dalam acara tersebut, ditampilkan seorang ibu rumah tangga yang menyampaikan unek-uneknya. Ia bilang kalau ia adalah “Siti Nurbaya” yang merelakan dirinya dijodohkan orang tuanya dengan laki-laki yang tidak pernah ia cintai. Pernikahan itu berlangsung bertahun-tahun lamanya hingga mereka dikaruniai banyak keturunan.

Dari sini, kita semua bisa lihat berbagai motif bisa melatarbelakangi seseorang untuk menikah, satu diantaranya ya tadi: dijodohkan orang tua melangsungkan keturunan, ekonomi, pasrah dengan alasan untuk berbakti kepada orang tua, mempertahankan status quo keluarga yang telah orang tua mereka bangun.

Ya, orang tua kita terdahulu agaknya cenderung lebih konkrit dan sederhana, berbeda dengan generasi setelahnya: terutama Generasi Milenial dan Gen Z. Faktor yang digunakan Milenial dan Gen Z amat spesifik di antaranya adalah karena cinta, mapan, pintar, berprofesi tertentu, hingga alasan yang bernuansa psikologi. Misalnya, menuntut agar pasangan kita harus satu frekuensi secara pemikiran. Hal ini menandakan setidaknya terdapat kesadaran dan perhatian khusus generasi saat ini dalam menentukan arah hidup mereka selanjutnya ketika telah menikah. Fenomena ini tercermin dari angka pernikahan yang mencapai titik terendah dalam satu dekade terakhir.[1]

Pernikahan dan Cinta

Menikah. Kata yang kelak akan menjadi bentuk pertanyaan di kemudian hari bagi setiap individu. Siap atau tidak, mau atau tidak mau. Akan tetapi, sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan menikah atau pernikahan itu sendiri? Selain dari kebutuhan fungsi biologis dan menjalankan syariat agama, fungsi sosial, menikah juga memiliki fungsi psikologis dalam upaya untuk menjawab persoalan eksistensi manusia.

Sejalan dengan konsep cinta menurut Erich Fromm, bahwasanya jika kita berbicara tentang cinta, maka erat kaitannya dengan eksistensi manusia itu sendiri, sebagai makhluk sosial yang memerlukan penyatuan untuk mengatasi keterpisahannya (kesepian). Ada beberapa cara untuk memperoleh penyatuan; penyatuan melalui kerja produktif, tetapi ini tidak bersifat interpersonal; penyatuan secara orgiastik hanyalah sementara, penyatuan secara konformitas hanyalah penyatuan semu. Oleh karenanya, semua itu hanya dapat terjawab dengan penyatuan secara interpersonal, dalam cinta. Cinta juga terdapat dalam bangunan pernikahan.

Akan tetapi, sebuah fakta terkuak bahwasanya menikah tidak berbanding lurus dengan mencintai. Seperti kisah ibu rumah tangga yang saya sebutkan di atas sebelumnya. Pertanyaan selanjutnya, apa kemungkinan yang dapat terjadi apabila pernikahan tidak diawali dari proses mencintai, yang menurut Fromm adalah sebuah seni yang mensyaratkan pengetahuan agar selalu dipelajari dan usaha untuk dipraktekkan, bukan sekedar hasil dari reaksi emosional yang spontan dan diikat oleh perasaan terpukau — walaupun dalam agama tertentu cinta tidak menjadi syarat dalam melangsungkan pernikahan.

Kemungkinan yang terjadi apabila pernikahan tidak diawali dari proses mencintai sebagai aktivitas produktif yang dilakukan oleh sebuah pasangan dapat berpengaruh terhadap tingkat kepuasan dari sebuah pernikahan. Artinya, semakin tinggi tingkat kepuasan maka semakin rendah seseorang untuk mengalami permasalahan kelekatan (penyatuan), seperti perasaan insecure, tereksploitasi dan menghindar.[2]

Kedudukan tidak setara dalam cinta dan juga pernikahan kerap diterima orang tua — terutama ibu kita dahulu. Tidak hanya persoalan kesetaraan, pengetahuan orang tua kita mengenai bagaimana melangsungkan pernikahan dan mengelola konflik juga dapat mempengaruhi. Hal-hal semacam ini turut andil secara langsung atau tidak langsung terhadap pola asuh yang salah kepada sang anak yang kelak akan melangsungkan fase hidup yang baru dengan menjalani penyatuan dengan individu lain dalam ikatan  pernikahan. Akibat psikologis yang terjadi terhadap sang anak adalah terciptanya luka batin yang berpotensi diwariskan pada pernikahan selanjutnya.

Menyusun Puzzle yang Hilang

Tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang terbiasa berobat dengan lupa sehingga setiap kali luka baru ditoreh, di kemudian hari luka itu dianggap tidak pernah ada. Hidup berjalan seperti tidak sedang terjadi apa-apa. Sadar ataupun tidak, keadaan semacam ini bisa menimpa siapa saja. Dalam bentuk sederhana atau yang kompleks sekalipun. Penting bagi kita (anak) yang memiliki luka batin untuk menyadari kehadiran luka batin tersebut, menghargai dan menerima luka, memproses emosi dan menghadirkan kembali luka batin dengan reaksi yang lebih stabil.

Ayah kita punya retak. Ibu kita juga punya retak. Kalimat ini dapat digunakan sebagai batu loncatan menuju kesadaran saat luka batin yang terbentuk tidak mampu lagi dikomunikasikan dengan baik ketika (kita) anak telah menjadi dewasa dan luka-luka batin mulai bermunculan. Kemampuan komunikasi orangtua kita dahulu yang otoriter dan seringkali tidak logis, perlahan perlu kita ingatkan dan ubah dengan bentuk komunikasi yang asertif-demokratis, terutama ketika membahas persoalan yang penting dan mendalam.

Cinta ibu yang pasif dan tanpa syarat dapat berdampak negatif pada bentuk narsistik kita (anak) ketika dewasa jika kita tidak mampu memahami bentuk cinta itu karena kita kelak akan berhenti bergantung dengan ibu ketika dewasa. Sedangkan cinta ayah yang bersyarat dan otoritatif perlahan akan hilang apabila anak tidak mampu melakukan apa yang diharapkan.[3]

Idealnya cinta ibu dan cinta ayah sesuai dengan kebutuhan anak itu sendiri. Cinta ibu tidak berusaha menghalangi anak untuk berkembang dan tidak memanjakan. Sedangkan cinta ayah seharusnya dituntut dalam prinsip tenggang rasa yang bukan otoritatif, memberikan kepercayaan agar anak mampu menentukan arahnya sendiri, menghindari pengabaian dan menghadirkan keteladanan.

Proses penyembuhan luka batin adalah perjalanan panjang seumur hidup, maka ketika kita telah cukup untuk menghadapi luka tersebut, mulailah untuk menyadari dengan memvisualisasikan dan memaknai luka tersebut sebagai pelajaran dan tidak untuk diwariskan.[4] Penting untuk melakukan komunikasi dengan pasangan tentang luka batin atau permasalahan tersebut yang dapat berdampak pada kelangsungan pernikahan, sehingga terciptanya kesepahaman dan saling menguatkan satu sama lain.

Share the Post:

Related Posts

Mungkinkah

Mungkinkah Hujan baru saja usai tumpahkan cintanyaJadikan senjaku semakin mempesonaLukisan tujuh warna di lengkung cakrawala menambah indahnya suasanaMomen ini selalu

Read More

Pecandu Rasa

Pecandu Rasa Rinduku menggebu pada garis waktuYang menghantarkan wajahmu pada peraduankuSedangkan rindumu terseok pada persimpangan jalan berlikuMengalah pada jarak yang

Read More