Perempuan, Pesantren, dan Problem Pendidikan yang Tak Habis-Habis

simple tt pfp

Awewe mah loba mudorotna!” atau “Perempuan itu banyak mudaratnya!” ujar ketua yayasan di satu sekolah berbasis pesantren.

Pernyataan ini membuat saya sedih, kesal, prihatin, dan membuat saya berkata kasar dalam hati saja tapi.

Seorang siswi mengeluh kepada saya bahwa dia tidak diizinkan untuk bergabung menjadi Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) di kecamatan, padahal menurutnya ini adalah langkah awal menuju cita-cita yang diimpikannya. Baru saja melangkah sudah dipatahkan, sungguh miris.

Empat siswa dari sekolah tersebut—dua laki-laki dan dua perempuan—berhasil lolos seleksi calon paskibra kecamatan pada Juni-Juli 2024. Namun, kedua siswi tersebut tidak diizinkan ikut dengan alasan,

Awewe mah loba mudorotna!”

Saya kaget bukan main, mengapa masih ada orang yang membatasi gerak perempuan? Saya kira orang seperti itu hanya ada di zaman sebelum rasul lahir. Sudah berabad-abad ajaran Islam yang ramah perempuan dicontohkan rasul, tapi kenapa gak diamalkan? Itu memang gak tahu atau pura-pura gak tahu?

Sudah lebih dari satu abad Kartini membicarakan hak-hak perempuan dan banyak sekali orang yang membahasnya hingga hari ini. Apa yang Kartini lakukan tentu saja jauh dari kata mudarat, malah banyak manfaatnya. Perempuan Indonesia hari ini bisa bersekolah, jadi pemimpin, berbisnis, berkolaborasi, berceramah, dan aktif di ranah publik, yang dulu kala adalah hal asing bagi perempuan.

Selain itu, alasan lainnya adalah memperlihatkan aurat. Astaghfirullah. Apakah siswa/siswi berprestasi yang mengibarkan bendera di Istana Negara yang dilihat se-Indonesia bahkan se-dunia itu berdosa karena memperlihatkan aurat? Bahkan ketika mereka memakai kaos kaki sampai lutut dan sarung tangan? Kurang menutup aurat bagaimana lagi coba?!

Saat pengibaran bendera merah putih tiap 17 Agustus, toh bukan aurat tuh yang saya pikirkan. Atau ini pikiran saya aja? Lantas, yang dipikirkan orang-orang apa ya? Soalnya sambil ngelihat bendera dikibarkan, saya terharu membayangkan bagaimana rasanya menjadi orang tua dari anak-anak Paskibra itu.

Lagian, jika tafsir-tafsir misoginis terus digaungkan dengan bunyi-bunyi semacam, perempuan adalah aurat, bagaimana dengan Siti Khadijah (istri Nabi) yang seorang pengusaha sukses pada zamannya? Tidak mungkin beliau berniaga atau berbisnis dengan berdiam diri di rumah. Beliau pasti aktif di ruang publik, bertemu banyak orang, dan tampil paling depan dalam berbicara tentang entrepreneurship. Lalu, lihat pahlawan perempuan di Indonesia, Cut Nyak Dien, yang ikut berperang melawan penjajah. Tidak mungkin beliau latihan perang hanya di dalam rumah, kan?

Saya teringat perkataan teman saya, “Perempuan dilarang ini dan itu, giliran istrinya lahiran, nyarinya dokter perempuan.” Hm ya juga.

Salah satu siswi mengirim voice note kepada saya dengan nada kesal dan sedikit ketakutan. Dia berkata,

“Bu, kalau aku keukeuh ikut, mereka mengancam aku bakal dikeluarkan dari pesantren dan sekolah.”

Saya menarik napas panjang. Jadi, buat apa kemarin-kemarin kita workshop, technical meeting, dan rapat membahas kurikulum merdeka? Nyatanya jauh sekali dari kata merdeka. Ya seperti anak-anak skena dengan tagar #NoSexism tapi waktu temannya jadi pelaku pelecehan dan kekerasan seksual malah hadir yang paling depan sebagai yang mengintimidasi dan menihilkan korban.

Sebagai kaum terdidik yang juga mendidik generasi penerus, kita seharusnya lebih bijak dan adil dalam membuat keputusan. Larangan yang tidak masuk akal itu akan berdampak buruk bagi siswa ke depannya. Ini bukan masalah jadi atau tidaknya mereka ikut Paskibra, tapi ini soal berpikir kritis, pengambilan keputusan, keadilan, dan cara mereka beragama. Padahal, watak asli agama adalah moderat, yaitu adil dan berimbang. Umatnyalah yang membuatnya berlebihan atau sebaliknya.

Islam mengajarkan kita untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, baik itu laki-laki maupun perempuan. Semua manusia adalah khalifah fil ardh yang mengemban amanah untuk menjadi pemimpin atas dirinya dan mewujudkan kemaslahatan seluas-luasnya di muka bumi. Mantap!

Karenanya, aturan yang membatasi potensi perempuan untuk berpendidikan, berpengalaman, dan berkembang adalah hal yang tidak islami. Perempuan juga manusia, sama seperti laki-laki, yang mempunyai potensi dan kesempatan yang sama untuk meraih cita-citanya. Jangan sampai pemahaman kita yang tidak moderat dan keegoisan kita sebagai tenaga pendidik menghambat generasi penerus untuk maju. Jangan sampai pemahaman kita yang tidak moderat melahirkan generasi dengan paham fanatisme buta hingga menimbulkan ekstremisme yang dapat memecah belah bangsa.

Paham Islam yang moderat adalah ikhtiar kita untuk mewujudkan Islam yang menjunjung tinggi keadilan dan Islam yang ramah perempuan. Begitupun dengan tujuan dari pendidikan kita yaitu memperluas akses pendidikan bermutu bagi peserta didik yang berkeadilan dan inklusif. Sudah sangat Islami, bukan?

Berkeadilan berarti memberi kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan dalam hal akses dan partisipasi. Inkusif berarti melibatkan semua orang dari berbagai kelompok tanpa meninggalkan salah satunya. Ini berarti kita sebagai pendidik harus memberi akses kepada semua siswa untuk berpartisipasi tanpa mendiskriminasi, dan melibatkan semua siswa untuk ikut mewujudkan pendidikan yang berkesetaraan tanpa memandang jenis kelamin, ras, suku, serta keyakinan.

Saya berharap tidak ada lagi tenaga pendidik yang bertindak egois hanya karena merasa berkuasa atau memimpin. Mari kita bijak dalam membuat dan mengambil keputusan. Jika lembaga pendidikan ingin menyelenggarakan sekolah dan pesantren, maka sistem pendidikan dan kurikulumnya harus seimbang, menggabungkan nilai-nilai keislaman dan ke-Indonesia-an. Pemerintah juga sebaiknya segera memasukkan pelajaran moderasi beragama dan kesetaraan gender ke dalam kurikulum sekolah dan pesantren. Dengan demikian, kita bisa membentuk generasi yang berpikir adil, bijak, dan toleran, sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Seperti yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer, seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.

Share the Post:

Related Posts

Mungkinkah

Mungkinkah Hujan baru saja usai tumpahkan cintanyaJadikan senjaku semakin mempesonaLukisan tujuh warna di lengkung cakrawala menambah indahnya suasanaMomen ini selalu

Read More

Pecandu Rasa

Pecandu Rasa Rinduku menggebu pada garis waktuYang menghantarkan wajahmu pada peraduankuSedangkan rindumu terseok pada persimpangan jalan berlikuMengalah pada jarak yang

Read More