Aku bertemu kembali dengan kawanku, setelah sekian lama. Aku tak ingat pasti bagaimana aku mati bersamanya. Tapi, aku ingat, kawanku ini seseorang yang taat beragama. Namun, saat ini, di Yaumul Mizal ini, sebelum melintasi Shirat al-Mustaqim, pakaian yang ia kenakan tak beda jauh kusutnya dengan pakaian calon penghuni neraka. Wajahnya pun pucat pasi. Ketakutan. Entah mengapa. Aku tak tahu. Sejak sampai di Yaumul Mizan, aku tak ikut melihat siaran ulang hidupnya. Bahkan tak tahu kala itu ia dimana. Teramat banyak manusia di sini. Dan aku teramat fokus melihat siaran ulang hidupku. Maka, setelah aku bertemu kembali dengannya, kutanya, “Kau kenapa?”
Ia menundukan kepala. Wajahnya terlihat meratapi masalalu.
“Hei, kau kenapa?”
Ia mulai mengangkat pandangannya. Menoleh kepadaku. “Kau ingat seekor lalat yang dulu kita debatkan di suatu desa yang kita tak ketahui namanya itu?”
Jelas aku tahu. Toh, belum lama aku melihat semua kehidupanku di dunia, lewat siaran ulang tadi. Dan lalat itu lah yang menyelamatkanku. Kata-kata itu kupendam dalam-dalam.
“Jelas kau ingat.” Lanjutnya.
Lantas, mengapa kau bertanya, batinku menggerutu. Cepat beri tahu.
Seperti dukun. Ia tahu persis apa yang kukatakan dalam hati. “Kau melewati bagian terpentingnya.”
Aku diam.
“Kau tak mengetahui apapun tentang kematianku.”
Aku menoleh ke belakang. Melihat antrean Shirat al-Mustaqim. Sangat panjang, ternyata. Dan antrean ini juga memiliki banyak jalur hingga aku tak tahu setiap jalur ujungnya sampai mana. Namun, aku tahu antrean di depan kami, jalur kami, terlihat cukup dekat.
“Jelaskan!” desakku.
“Apa yang kau tahu tentang kematianku?”
“Kita mati bersama. Aku tahu itu. Kita mati ketika memaksa keluar dari desa itu tanpa memenuhi syarat yang ditentukan oleh masyarakat.”
Ia menatapku serius. Menyelami sorot pandangku sangat dalam. “Kau keliru,” katanya.
Air wajahku keheranan. Memberi sinyal, “Maksudnya?”
“Kau mati lebih dulu dari pada aku.”
Wajahku semakin mengkerut. Aku mengingat kembali siaran tadi. Jelas, aku melihat diriku mati bersamaan dengannya.
Ia tak melanjutkan ceritanya. Ia malah memandang ke arah depan. Kini badannya tegak. Seakan siap dirinya akan jatuh di Shirat al-Mustaqim nanti. Lalu, aku menunduk. Mengingat-ngingat kejadian terakhir bersamanya.
Kejadian itu dimulai ketika kami ingin menemui teman lamaku. Kami ingin mengajak temanku menempuh hidup sesuai aturan agama. Sejujurnya, ini keinginanku. Bukan keinginan kami berdua. Aku memaksanya untuk mengajak teman lamaku supaya menjauhi kebiasaan buruknya.
Aku memaksa karena aku tahu teman lamaku ini pasti seperti aku yang dulu. Aku yang sering mabuk-mabukan, berjudi, hingga berzina. Aku tak ingin teman lamaku ini terus menerus menjalani hidup yang seperti itu. Aku ingin menyelamatkannya.
Namun, setelah sepakat, dan menempuh perjalanan yang cukup jauh, dan bekal yang sangat minim, kami berdua malah mampir ke desa yang tak pernah terjamah sedikit pun oleh orang asing. Kami memilih mampir ke desa tersebut lantaran kami teramat haus. Kami memilih melalu jalur yang jauh namun ada tempat untuk meminta segelas air, daripada melalui jalur yang dekat namun tak ada sedikitpun air di sepanjang jalan.
Setelah kami masuk ke desa tersebut, dan mendapatkan segelas air, dan bahkan diberi persediaan air untuk melanjutkan perjalanan, kami kebingungan keluar dari desa tersebut. Sebetulnya ada, namun, tak mungkin kami memutar balik arah. Jelas itu tak mungkin. Jaraknya sangatlah jauh untuk kembali ke jalur tujuan semula. Kami berdua tak menginginkan hal tersebut. Hingga akhirnya, kami berdua berpencar mengelilingi desa untuk mencari jalan keluar dan berkumpul kembali di titik pertama kali perpencar. Ia memutuskan untuk memulai dari arah utara ke arah selatan melewati sisi barat, dan aku sebalinya. Aku memulai dari arah selatan ke arah utara melewati sisi timur.
Permulaanku, adalah ke selatan, yang di mana itu adalah pintu masuk kami ke desa ini, aku melakukan langkah sangat pelan. Aku tak ingin tergesa-gesa yang membuat tenagaku terkuras. Sesampainya di pintu masuk, aku meratapi panjangnya jalan tersebut. Harus kah aku kembali ke jalur ini, batinku.
Aku tak ingin berlama-lama meratapi jalan tersebut. Maka, aku melanjutkan pencarianku ke arah timur. Sepanjang jalan itu, hanya ada rumah-rumah kotak dan sepi penduduk. Entah pada kemana.
Aku tak memberhentikan langkah sampai di sana. Aku terus melangkah hingga sampai ke titik terakhir pencarianku. Sama. Dari sudut timur desa tersebut, sampai ke sudut utara, hanya ada rumah kotak dan sepi penduduk. Aku pun kembali ke titik pertama kali kami berpisah.
Sebelum benar-benar sampai di titik tersebut, aku melihat temanku sudah sampai lebih dulu. Ia melambai-lambaikan tangannya ke arahku. Aku pun bergegas menghampirinya.
“Kenapa kau lama sekali?”
“Aku dibuat heran. Tak ada satupun orang yang kutemui selama pencarianku. Entah kemana.”
“Tapi kau menemukan jalan untuk keluar dari desa ini?”
“Tidak sama sekali. Hanya ada rumah yang sepi penduduk. Bahkan tak ada orang satu pun.”
“Aku tahu.”
“Apa?”
“Aku menemukan jalan keluar yang kita cari. Dan rumah-rumah yang kau lalui tanpa penduduk itu, aku tahu pada kemana mereka.”
“Ke mana?”
“Mereka berkumpul di depan jalur keluar.”
“Ada apa sebenarnya di sana?”
“Aku melihat patung yang sangat besar. Mereka yang berkumpul di sana, bersujud ke arah patung itu.”
“Kau melihatnya dengan jelas?”
“Sungguh jelas.”
“Patung berbentuk apa yang kau lihat itu, dan kenapa para penduduk menyembahnya?”
“Aku tak tahu. Yang kutahu aku menemukan jalan keluar agar kita cepat sampai ke tujuan.”
Kami pun bergegas pergi ke tempat yang ditemui oleh kawanku.
Sesampainya di sana, kami tak menemukan penduduk yang sedang berkumpul, bahkan tak ada yang bersujud. Namun, patung yang besar benar adanya. Patung itu berbentuk singa yang sedang tersenyum lebar.
Tak membutuhkan waktu yang lama untuk berfikir. Kami langsung berjalan ke jalur keluar. Namun, langkah kami terhenti oleh penjaga jalan. “Kalau kalian ingin melewati jalur ini, kalian harus melakukan persembahan.”
“Tak mungkin kami menyekutukan Allah.” Tegas kawanku. Aku hanya diam.
“Berkurbanlah, bila kalian ingin melalui jalur ini.”
Kawanku diam. Aku tetap diam. Kami saling menatap. Seperti mengerti hati satu sama lain. Kami saling mengangguk. Lalu, kawanku kembali berkata kepada para penjaga, “Kami tak akan menyekutukan Allah!”
“Pokoknya kami tak mau tahu, yang jelas kalian berdua harus berkurban pada berhala kami. Meski seekor lalat.”
Kawanku kembali diam. Aku tak mau terus-menerus diam. Aku melangkah masuk ke jalur tersebut. Tertahan. Aku terus memaksa. Hingga akhirnya, “Berkurban, atau kubunuh kalian.”
Aku melangkah mundur.
“Bagaimana ini?” tanyaku.
“Aku melihat lalat dari tadi,” jawab kawanku. “Bagaimana?”
“Kau menjual keimananmu dengan seekor lalat?”
“Kita harus selamat agar bisa terus berdakwah.”
Aku hanya menggelengkan kepala.
“Kau ingin temanku itu sepertimu kan?” rayu kawanku.
“Aku tak ingin menyekutukan Allah.”
“Kita tak menyekutukan Allah.” Timpalnya. “Kita hanya perlu seekor lalat sebagai kunci dakwah kita.” Ia menelan berat. “Ini demi agama kita juga.”
Aku diam tak menanggapi perkataannya.
Ia diam tak tahu harus bagaimana lagi.
Kami saling membisu cukup lama hingga kawanku berkata, “Silakan bunuh saja kami. Kami tak akan sedikitpun menyekutukan Allah.”
Aku terkejut. Tak menyangka ia akan berkata seperti itu. Ia yang merayuku untuk berkurban seekor lalat, namun kini berkata lain. Aku kagum dengan keimanannya.
Para penjaga pun kaget dengan pernyataan kawanku. Dua orang di antara mereka maju ke arah kami. Dua orang itu mengacungkan pedangnya masing-masing. Dan satu di antara para penjaga, pemimpinnya, maju mendekati kami. Ia berbisik kepada kedua orang yang sedang mengacungkan pedangnya ke arah kami.
Kami membeku. Takut. Hatiku terus menggumamkan tahlil. Hati kawanku, entah bergumam apa. “Bunuh mereka.” Titah pemimpin itu.
Lalu kami pun mati.
Ya, kami mati. Namun, di mana bagian yang kulewati, yang membuat wajah kawanku pucat pasi saat ini. “Hei, beri tahu aku bagian mana yang kulewati?”
“Lalat.”
“Lalat?”
“Ya, lalat.”
“Aku tak dibunuh oleh mereka.” Lanjutnya.
Aku terdiam.
Setelah kau mati, katanya, aku ditawari kembali untuk melanjut hidup. Aku ketakutan setelah melihat kau mati. Aku belum siap untuk mati. Maka, sewaktu mereka menawariku untuk melanjutkan hidup, lagi, kuterima. Aku mendapatkan lalat dengan sangat mudah. Dan lalat itu kukurbankan untuk berhala itu. Mereka membebaskanku. Aku akhirnya bisa melewati jalur tersebut. Namun, ternyata umurku hanya sampai di sana. Aku mati sebelum keluar dari desa itu dan ternyata aku mati setelah menyekutukan Allah.
Aku tetap terdiam. Aku tak menyangka kawanku yang membantuku terlepas dari kebiasaan buruk, seperti mabuk-mabukan, berjudi, dan juga berzina, malah mati dalam kondisi syirik.
“Selamatkan aku, kawan.” Katanya memohon.
“Maaf, kawan,” kataku. “Allah Maha Tahu apa yang tidak diketahui oleh kita.”
Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. -QS. Al-Ma’idah [5] : 90